Mayor Jenderal Soeharto “dikroyok” Presiden Soekarno dan Kabinetnya
Oleh : Noor Johan Nuh
Dijelaskan, jika penenggelaman kapal perang Belanda hanya bersifat politis sedangkan langkah politik telah ditempuh selama 13 tahun (sejak dari KMB 1949), tidak berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi—maka, jika hal itu dilaksanakan akan membuyarkan semua rencana operasi militer untuk merebut Irian Barat yang sudah dipercayakan kepada Jenderal Soeharto.
Sebetulnya, dengan alat utama sistem persenjataan (alutsita) yang dimiliki Indonesia saat itu, sangat mudah menenggekamkan kapal perang Belanda tersebut. Dengan menembakkan peluru kendali dari pesawat pembom tercanggih saat itu TU-16, kapal perang Belanda dapat ditenggelamkan dengan mudah.
Akan tetapi akibatnya menjadi politis. Belanda akan mengundang negara-negara Sekutu untuk membantunya karena diserang dengan peralatan tempur Rusia, dan operasi militer “Jayawijaya” yang sudah dipersiapkan menjadi berantakan.
Akhirnya Presiden Soekarno dapat menerima argumen yang diajukan oleh Jenderal Soeharto.
Bukan tidak mungkin Presiden Soekarno teringat dengan Peristiwa 3 Juli 1946, di mana Soeharto yang pada waktu itu menjadi Komandan Resimen III berpangkat Letnan Kolonel, menolak perintah Presiden karena tidak sesuai dengan hierarki militer. Perintah kepada Komandan Resimen harus melalui Panglima Besar, bukan melalui Presiden.
Atas penolakan itu, untuk pertama kali Presiden Soekarno menyebut Letnan Kolonel Soeharto sebagai “Opsir Koppig.” [njn]