2 Oktober 1965 [IV], Pertemuan paling kritis

OLEH NOOR JOHAN NUH * penulis buku dan bergiat di forum Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Jakarta

2 Oktober 1965 bagian [III] – Mayor Jenderal Soeharto ke Bogor

Pertemuan Presiden Soekarno dengan Mayor Jenderal Soeharto di Istana Bogor tanggal 2 Oktober 1965, adalah pertemuan paling kritis yang akan menentukan apakah kudeta Gerakan 30 September akan berhasil atau tidak.        

Jika dalam pertemuan itu Presiden Soekarno tidak menugaskan  Mayor Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban—tanpa penugasan dari Presiden, tanpa perintah dari Presiden, maka Mayor Jenderal Soeharto tidak memiliki kewenangan kepada slagorde Angkatan Darat.  Tidak dapat memberi komando kepada prajurit-prajurit Angkatan Darat, tidak memiliki akses ke Angkatan Darat, dan kudeta Gerakan 30 September  berjalan sesuai dengan rencana mereka.

Langkah Mayor Jenderal Soeharto mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat pagi hari seharusnya terhenti setelah pada siang hari Presiden Soekarno mengumumkan mengambilalih pimpinan Angkatan Darat dan menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat. Akan tetapi pada malam harinya, setelah RRI direbut dari penguasaan Gerakan 30 September, malah Mayor Jenderal Soeharto malah mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil alih pimpinan Angkatan Darat.

Dalam konteks tersebut, dapat saja Presiden Soekarno menganggap Mayor Jenderal Soeharto melakukan insubordinasi karena tidak patuh pada perintah Presiden. Pengumuman di RRI tersebut membuat dualisme pimpinan Angkatan Darat yaitu Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto.

Jika demikian adanya maka Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi ABRI—dengan sangat mudah dapat menghukum Mayor Jenderal Soeharto.  Mencopotnya dari jabatan sebagai Panglima Kostrad, bahkan Presiden dapat membawa masalah ini ke Mahkamah Militer karena tidak patuh pada  perintah Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi

Lihat juga...