“Cadangan gandum hanya cukup sampai April, lho, Han. Kalau harga gandum dan bahan lain terus meroket, aku mungkin akan menutup toko ini.”
Dengan membawa keranjang berisi aneka roti dan kue tradisional di tangan kanannya serta menggandeng Cia di tangan kirinya, Hani menghampiri Nyonya Ida.
“Jangan, dong, Oma. Kalau toko ini tutup kami harus beli kue ke mana?”
Dengan lincah Nyonya Ida memindai belanjaan pelanggan setianya itu ke mesin kasir. Meski berperawakan gemuk-pendek dan kulitnya tak kencang lagi, wajah Nyonya Ida masih menyisakan kecantikan masa muda.
Sepasang matanya yang kecil itu tampak bercahaya ketika ia tersenyum. Senyum wanita sederhana namun keras kepala itu manis sekali.
Ada sepasang lesung pipit yang tercetak di kedua belah pipinya. Dulu, senyum itu selalu hadir saat ia bahagia maupun bersedih.
“Koh Billy baik-baik saja di Jakarta, kan, Oma Ida?” Lirih Hani bertanya. Suaranya setengah berbisik.
Nyonya Ida menatapnya sekilas sambil mendorong kantong roti mendekat ke Hani.
“Memangnya kalian tidak ada saling berkomunikasi lagi? Kalau tak berjodoh, bukan berarti kalian berhenti jadi sahabat, kan?”
“Koh Billy memblokir nomor dan semua media sosial saya, Oma,” keluh Hani sedih.
Nyonya Ida memasang tampang meminta maaf.
“Sama ibunya pun dia juga begitu akhir-akhir ini. Tidak pernah menelpon duluan dan susah diajak ngobrol.”
Hani hanya bisa tersenyum getir. Segera dibayarnya tagihan belanja yang total senilai dua ratus ribu itu. Mungkin untuk mengurangi rasa bersalah karena sikap putranya, Nyonya Ida menambahkan dua potong kue tart sebagai bonus.
***
Di toko roti Nyonya Ida ada satu jenis kue tart yang masih diproduksi sejak toko itu kali pertama berdiri. Kue itu terdiri dari dua lapis bolu lembut yang dipisahkan oleh lapisan tebal krim kocok di antaranya.