Fit & Proper Test Calon Panglima TNI, “GIMMIK POLITIK YANG PERLU DIAKHIRI”
OLEH: BRIGJEN TNI (PURN) DRS. AZIZ AHMADI, M. SC.
Patut diduga, bakal terjadi loyalitas ganda, dari TNI. Tidak hanya tegak lurus kepada Presiden, tapi terbagi dan bercabang kepada DPR. Dari sini bisa timbul kerancuan komando dan kontestasi kepentingan secara terselubung, yang sama sekali tidak menguntungkan TNI.
Kedua, Terjadi Kembali Politisasi Terhadap TNI.
Persetujuan DPR, melalui mekanisme fit & proper test, adalah proses politik. Nuansa dan aroma politiknya, begitu kental dan kentara. Tentunya, amat paradoks dengan semangat reformasi TNI.
Disadari atau tidak, kemestian TNI steril dari hiruk-pikuk politik – langsung atau tidak langsung – keseret-seret kembali ke wilayah politik praktis. Ini berarti, “menggaruk di atas luka”, yang kemudian bisa menggoda sisa-sisa birahi politik militer, bangkit kembali.
Ketiga, Menghambat Proses Institusinalisasi TNI.
Semua itu secara signifikan, akan berpengaruh negatif terhadap proses institusonalisasi TNI. Bahkan bisa menghambat dan menggagalkannya.
Cita-cita membangun budaya TNI, yang profesional, disiplin, militan, dedikatif dan modern, akan terkendala. TNI kehilangan fokus, dan hanya menjadi komoditas yang layak untuk diperebutkan, sesuai kepentingan politik tertentu.
Keempat, Menyemai Korupsi Politik Dalam Tubuh TNI.
Persetujuan DPR melalui mekanisme fit & proper test, membuka peluang yang amat lebar bagi calon Panglima TNI, berkompetisi secara tidak fair.
“Calon Panglima TNI, adalah juga manusia”. Dalam kondisi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kompetisi dan kontestasi yang tidak sehat, dari sesama calon Panglima TNI.
Apakah sekadar kontestasi elektabilitas, agar memenuhi kriteria untuk dicalonkan oleh Presiden. Atau sebuah kompetisi keras dengan mengerahkan segala modalitas yang ada.