Pengolahan Garam Mekanis tak Butuh Modal Besar

Editor: Koko Triarko

“Kadar ini memenuhi syarat untuk kebutuhan garam beryodium yang membutuhkan kadar 94 persen. Kalau memang mau output -nya garam industri yang mengharuskan kadar di atas 97 persen, maka yang perlu diperbaiki adalah pengolahan awalnya. Sehingga kadar di garam krosoknya itu sudah tinggi, di atas 91 persen,” ucapnya lagi.

Aris menyatakan, kandungan NaCl dalam garam itu sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan pengolahan alam garam. “Kita tidak bicara tentang air lautnya. Tapi, iklimnya. Indonesia memang suhu udaranya panas, karena berada di wilayah tropis tapi tingkat kelembapannya tinggi. Selain itu, periode hujannya juga tidak pasti. Ditambah cara pengelolaan awalnya juga kurang tepat. Sehingga menghasilkan garam krosok dengan rongga yang cukup banyak dan mengandung molekul air yang cukup besar. Yang artinya kadar NaCl nya di bawah garam yang dihasilkan di wilayah Sub Tropis, seperti Australia,” ujarnya.

Tapi, hal ini bisa diselesaikan dengan hadirnya teknologi. Jika mengolah garam dengan sistem rekristal, maka peningkatannya bisa saja dilakukan.

“Kalau teknologinya, Indonesia bisa saja. Hanya perlu diingat, bahwa proses pengolahan rekristal itu bukan hanya padat teknologi. Tapi, juga padat modal. Bukan masyarakat yang bisa melakukannya, tapi pemerintah,” ujarnya lagi.

Ia menekankan, jika memang kebutuhan garam industri masih harus diimpor, tidak masalah. Tapi kebutuhan garam konsumsi, seharusnya bisa terpenuhi dengan produksi garam dalam negeri. Karena produksi rata-rata garam krosok adalah 2.334.689 ton per tahun dari 11.805 petambak.

“Caranya tentu dengan meningkatkan kualitas garam krosok. Sehingga garam yang dihasilkan melalui teknik mekanis bisa menghasilkan kadar NaCl yang memenuhi syarat. Para petani garam harus diedukasi, bagaimana cara yang tepat untuk mendapatkan garam krosok yang bagus,” pungkasnya.

Lihat juga...