Warga Tionghoa di Bandar Lampung Rayakan Hari Ulambanna

Editor: Koko Triarko

Ali Sutomo menyebut, perayaan ulambanna menjadi harapan kebahagiaan bagi keluarga yang telah meninggal dan manusia yang masih hidup di dunia. Penghormatan untuk leluhur serta dewa-dewa saat ini bisa dilakukan dengan penjamuan kepada fakir miskin. Dalam perayaan yang lebih meriah, dilakukan sembahyang dan pemberian persembahan untuk roh-roh.

Persembahan untuk roh-roh gentayangan, sebut Ali Sutomo, kerap disebut festival hantu. Karena itu, secara umum perayaan ini dikenal dengan sembahyang rebutan atau cioko. Setelah perayaan, barang persembahan diberikan untuk orang yang membutuhkan. Sebagai perayaan kental bernuansa religius, ia menyebut sembahyang dilakukan untuk mendekatkan diri pada Pencipta.

“Makna harafiahnya pintu dunia baka dibuka agar hantu bisa bepesiar ke dunia manusia, dan manusia juga bisa menjamunya dengan hal-hal baik,” ulasnya.

Kesederhanaan perayaan ulambanna juga terlihat  di vihara Thay Hin Bio, di jalan Ikan Kakap No. 35, Teluk Betung Selatan. Vihara yang kental bernuansa warna merah tersebut biasanya tertutup untuk umum selama pandemi. Namun, saaat perayaan ulambanna atau cioko gerbang dibuka. Sebagian umat datang untuk bersembahyang kepada leluhur, membawa persembahan dan memberi derma.

Di vihara Bodhisattva jalan Ikan Kembung, Pesawahan, Teluk Betung Selatan, juga terlihat sebagian umat bersembahyang.

Chong Sui Ni, salah satu warga, mengaku datang untuk bersembahyang pada perayaan ulambanna atau cioko. Selain bersembahyang di vihara, ia juga datang ke makam anggota keluarganya.

“Harapan akan kebahagiaan pada perayaan ulambanna dengan sembahyang dan memberi persembahan kepada leluhur,” katanya.

Lihat juga...