Jenang Sumsum Miliki Makna Filosofi

Editor: Koko Triarko

JAKARTA – Meski sudah mulai sulit untuk ditemukan, bubur sumsum atau jenang sumsum masih banyak dicari. Makanan satu ini bisa dinikmati hangat dan dingin.

Kasimo, pedagang bubur sumsum di daerah Rawa Belong Jakarta, menceritakan, bahwa masa pandemi tak banyak mengurangi hasil dagangannya.

“Yang dagang bubur sumsum ini sudah jarang. Jadi, dagangan sih pasti habis. Kalau pagi, yang beli biasanya buat sarapan itu gak pakai es batu. Tapi, kalau sudah mulai siang, baru beli pakai es batu,” kata Pak Mo, demikian ia akrab dipanggil, Sabtu (21/8/2021).

Ia menyebutkan, semua bahan dagangannya dibuat sendiri dan menggunakan bahan yang segar. Hanya es batu yang memang ia ambil sesaat sebelum mulai berdagang.

Kasimo, pedagang bubur sumsum di Rawa Belong Jakarta, yang sudah berdagang selama 10 tahun, Sabtu (21/8/2021) – Foto: Ranny Supusepa

“Kalau habis, sekalian pulang ke rumah mampir dulu ke pasar. Sampai di rumah, istirahat dulu. Baru abis Isya mulai masaknya. Biasanya yang duluan dibikin candilnya. Saat candil sudah matang, baru bubur sumsumnya dibikin,” tuturnya.

Pak Mo menyebutkan, membuat bubur sumsum sama sekali tidak susah. Hanya mungkin yang membuat masyarakat lebih memilih membeli karena tidak mau ribet membuat sendiri.

“Ya, paling kalau beli kan Rp5 ribu. Paling banyak Rp10 ribu. Udah tinggal makan. Kalau masak, harus beli bahan, masaknya lagi lama. Mending beli,” tuturnya lagi.

Untuk membuat bubur sumsum, Pak Mo menyampaikan bahan yang dibutuhkan adalah tepung beras, santan, daun pandan untuk memberi aroma, daun suji untuk mewarnai hijau dan sedikit garam.

Lihat juga...