“Dalam ranah business-to-business (B2B), agregator akan mengakuisisi perusahaan yang dapat memberi nilai tambah. Para agregator akan membangun jaringan cloud-kitchen mereka sendiri seperti yang sudah dilakukan di Thailand, Singapura, Filipina, dan Indonesia,” ujar Siddharth.
“Mereka juga akan menjadi one-stop-shop bagi perusahaan layanan makanan, dengan menyediakan bahan baku, peralatan masak, ruang cloud-kitchen, pinjaman modal, alat analisis, serta sistem point of sale,” lanjut Siddharth.
Kearney melakukan survei online terhadap lebih dari 900 perwakilan konsumen Indonesia untuk memahami bagaimana preferensi mereka berubah setelah pandemi. 34 persen konsumen telah beralih untuk memesan makanan melalui pesan antar atau bawa pulang.
50 persen masih lebih memilih makan di restoran. 24 persen telah beralih dari warung makan dan jajanan pinggir jalan ke restoran moderen atas faktor prioritas kesehatan dan keselamatan dibandingkan rasa dan harga.
“Karena transparansi dalam penanganan makanan menjadi perhatian utama konsumen, digitalisasi di hampir setiap aspek model operasi diperlukan. Digitalisasi dalam industri akan berkembang di dua bidang, digitalisasi dalam pelayanan pelanggan dan mekanisasi operasi restoran. Kontak manusia di kedua area tersebut akan diminimalisir dan diganti dengan aplikasi digital, robotika, serta otomatisasi,” kata Siddharth.
Digitalisasi dalam pelayanan pelanggan termasuk menggunakan menu online dan aplikasi pembayaran contactless. Dalam hal mekanisasi operasi, layanan makanan akan dijadikan otomatis dengan sensor dan robot Internet of Things (IoT). Pelayanan pelanggan dalam restoran akan dikelola dengan platform digital. (Ant)