Dampak Perdagangan Rempah, Budaya Banten Berkembang

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Tak hanya kaligrafi dan aksara, gaya berbusana para anggota kesultanan pun ikut terpengaruh budaya dari negara atau wilayah di mana perdagangan rempah dilakukan.

“Misalnya jubah dari Arab, terompah dari Turki, penutup kepala dari Maroko, songket dari Palembang hingga kain beludru dari India. Walaupun pada awal abad 19, nuansa Jawa lebih menonjol,” ungkapnya.

Aktivitas perniagaan rempah ini pun, lanjutnya, menciptakan toponimi komunitas pesisir yang heterogen di sepanjang pesisir utara.

“Etnisnya itu Cina, Keling, Parsi, Arab, Melayu, Bali, Jawa dan Bugis. Yang menyebabkan munculnya klaster seperti Kampung Bugis, Kampung Pekojan maupun Pabean. Bahkan ada klaster yang memang merujuk pada rempah secara langsung, misal Pamarican di Banten Lama atau Kampung Pedes,” ungkapnya lagi.

Yang terakhir, pengaruh jalur rempah ada pada pengetahuan dan teknologi tradisional, yang hingga sekarang masih terlihat dilakukan masyarakat.

“Orang Panimbang biasanya memasukkan sebutir lada utuh di pusar bayi yang baru terlepas ari-arinya agar lukanya cepat mengering,” tandasnya.

Sementara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran (UNPAD), Fadly Rahman, menyebutkan, persinggungan jalur rempah di masa lalu melahirkan ragam kuliner yang multikultur di Banten.

“Kita sekarang baru membahas jalur rempah. Padahal, sejatinya, nilai budaya rempah itu sudah menjadi warisan dan menjadi bagian selera lokal di daerah yang masuk dalam jalur rempah tersebut,” kata Fadly.

Ia menyebutkan bahwa identitas kuliner suatu daerah sangat erat kaitannya dengan geografi, sejarah, keragaman etnik, etika kuliner, resep dan cita rasa yang dipertahankan.

Lihat juga...