“Kasus penangkapan ini salah satu contoh buruk dan kekeliruan dalam penegakan restorative justice yang digadang-gadang sebagai kinerja polisi virtual,” ujar Fanny.
Diskriminasi Hukum
Dalam situasi pandemik Covid-19, sebagian mahasiswa menilai Polri masih tebang pilih dalam hal penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan. Dasar hukum pelaksanaan protokol kesehatan merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/382/2020.
Pernyataan penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan yang masih pandang bulu tersebut, dicontohkan saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, pada 23 Februari 2021.
Pada saat kunjungan kerja orang nomor satu di Indonesia tersebut, terlihat banyak masyarakat tidak menaati protokol kesehatan dengan ketat, sebagai contoh tidak menjaga jarak fisik dan tidak memakai masker.
Imbasnya, kegiatan Presiden di Maumere tersebut dilaporkan ke instansi kepolisian, namun sayangnya ditolak. Penolakan tersebut tentu saja membuat masyarakat kecewa, karena Polri dinilai masih tebang pilih dalam menegakkan hukum kepada pelanggar protokol kesehatan.
Tidak hanya itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 juga ditemukan banyaknya pelanggaran protokol kesehatan. Setidaknya, Bawaslu mencatat terdapat 2.584 kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh tim kampanye, pasangan calon dan sebagainya.
Dalam hal ini, Polri hanya melakukan tindakan teguran tertulis dan pembubaran. Tindakan tersebut dinilai kontras saat polisi menindak dan menangkap sembilan orang yang tergabung dalam massa aksi Hari Pendidikan Nasional 3 Mei 2021, karena dalih melanggar protokol kesehatan.