Landasan hukum dari polisi virtual tercantum dalam surat edaran Kapolri bernomor SE/2/11/2021, tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif.
Namun, sayangnya apa yang dilakukan oleh polisi virtual dinilai BEM UI berlebihan terhadap masyarakat, sehingga berpotensi mengancam kebebasan berpendapat.
Menurut salah seorang pengurus BEM UI, Fanny Syaferial, perlu ada kejelasan dan parameter yang dipakai oleh polisi virtual dalam menindak sebuah akun di media sosial.
Tindakan yang dilakukan oleh polisi virtual dinilainya justru membuat negara bertindak seperti merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka.
Sebagai contoh, tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap AM, salah seorang pemuda di Kota Solo, Jawa Tengah. AM ditangkap oleh Polresta Solo karena dinilai mengundang komentar mengandung hoaks atau informasi bohong dan ujaran kebencian.
Polisi menilai AM melontarkan kalimat ujaran kebencian dan hoaks kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan anak sulung dari Presiden Joko Widodo.
Penangkapan bermula dari pernyataan AM yang merupakan warga Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, mengomentari sebuah unggahan terkait keinginan Gibran menyelenggarakan semifinal dan final Piala Menpora di Stadion Manahan Solo.
Dalam unggahan kalimatnya, AM menuliskan “tahu apa dia tentang sepak bola, tahunya cuma dikasih jabatan saja”.
Banyak kalangan termasuk mahasiswa menilai tindakan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian berlebihan. Ucapan AM dinilai bukan ujaran kebencian, apalagi hoaks melainkan lebih kepada ucapan sinis.