Koret Kurangi Risiko Gulma dan Hama pada Budidaya Cabai
Editor: Makmun Hidayat
LAMPUNG — Pemanfaatan lahan kebun untuk budidaya sejumlah komoditas pertanian dilakukan petani dengan sistem tumpang sari. Namun risiko gulma dan hama berimbas produksi buah bisa terjadi, untuk menguranginya dapat dilakukan sistem koret.
Sumirah, petani di Desa Kelawi, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan menyebut budidaya cabai sistem tumpang sari cukup potensial. Untuk kurangi risiko gulma rumput, Sumirah melakukan sistem koret.
Sistem koret sebutnya merupakan cara tradisional pembersihan organisme pengganggu tanaman utama jenis rumput. Rumput pengganggu sebutnya jenis kawatan, sintron dan rumput jarum. Sistem koret dilakukan manual memakai alat gober atau golok yang lebar untuk mencabut semua jenis gulma rumput.
Sumirah bilang menanam jenis cabai rawit, cabai caplak dengan sistem tumpang sari. Penanaman dengan beragam tanaman pisang, kenikir, okra, kemangi dan tanaman bertajuk berimbas gulma cepat tumbuh. Ia juga menyebut penggunaan pupul organik kompos kotoran kambing dan sapi mempercepat pertumbuhan gulma. Sistem koret jadi solusi untuk meminimalisir gulma sekaligus menyuburkan tanaman.
“Penggunaan kompos kotoran ternak kerap membawa bibit rumput namun bisa dibersihkan dengan sistem koret oleh pemilik lahan serta sejumlah buruh agar lahan kembali gembur, nutrisi tanaman cabai tidak kalah dengan rumput gulma,” terang Sumirah saat ditemui Cendana News, Senin (21/6/2021).
Sumirah menambahkan proses koret sekaligus tahap perawatan tanaman cabai. Rumput yang telah dibersihkan selanjutnya akan dikeringkan untuk dibakar. Solusi lain gulma rumput yang menjadi pengganggu tanaman cabai langsung di pendam pada lubang khusus. Pembakaran gulma rumput dan pembakaran memiliki tujuan memutus adanya benih yang berpotensi tumbuh. Koret dilakukan setiap sebulan sekali agar lahan selalu bersih.