Alternatif Pembuangan Limbah ke Laut Dalam tak Sejalan dengan Pembangunan Berkelanjutan
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
Sementara itu, Ahli Lingkungan dan Energi Laut Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Prof. Dr. Mukhtasor yang dihubungi terpisah menyatakan, Indonesia harusnya lebih tegas menolak pembuangan tailing ke laut dalam.
“Anjuran kajian mendalam atas rencana pembuangan tailing itu bagus, tetapi sangat normatif. Sebaliknya, Indonesia harus berani konsisten, ketika ingin mengembangkan green economy, bahkan blue economy, dan sesuai dengan trend kesadaran dunia atas pembangunan berkelanjutan, serta komitmen pada Pasal 33 UUD 1945, maka sesungguhnya pendekatan menjadikan laut sebagai tempat pembuangan sampah raksasa seperti pada praktek tailing limbah pertambangan itu harus dihentikan. Harus ada pertobatan nasional mengenai hal ini,” kata Prof. Mukhtasor.
Ia menyatakan, pembuangan tailing ke laut adalah praktik kuno yang merugikan publik dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan, meskipun menghadirkan keuntungan bagi korporasi yang mendapatkan izin.
“Ada opsi-opsi lain untuk mengolah dan mengelola limbah tailing tanpa harus dibuang ke laut. Opsi itu tersedia luas dan diterapkan di berbagai negara,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan di seluruh dunia saat ini, jumlah tambang yang mendapatkan izin membuang tailing ke laut kurang dari 1 persen.
“Indonesia termasuk negara dalam jumlah sedikit yang mengadopsi pendekatan jalan pintas, yang tidak sesuai dengan kesadaran dunia atas green economy, blue economy, maupun sustainable development,” tuturnya.
Prof. Mukhtasor menyebutkan tailing ini dampaknya langsung dan dirasakan oleh rakyat setempat, baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
“Tidak mungkin yang berdampak di depan mata seperti itu dilegalkan. Kalau dilegalkan, maka perumpamaannya seperti kita ini mewajibkan diri memakai parfum tetapi menolak perlunya mandi,” ucapnya.