Memulihkan Suharto, Memulihkan Adab Kita

OLEH: RADHAR PANCA DAHANA

Dalam jarak 30.000 km dari Indonesia, selama di Eropa, saya bukan hanya bisa melihat Indonesia–sebagai bagian dari diri sendiri–secara lebih objektif dan jernih, tapi juga bisa memperoleh data dan fakta yang lebih akurat dari apa bisa diperoleh mereka yang ada di dalam negeri. Karena saya bisa melihat sendiri bagaimana data dan fakta yang diproduksi di negeri lain kemudian bergulir di kalangan masyarakat Indonesia setelah dipoles, disemir, dipelintir bahkan menjadi fake news alias hoax dalam istilah mutakhir.

Saya menjadi saksi, bagaimana banyak isu politik, ekonomi, sosial dan lainnya yang bergulir seperti bola panas sudah diproduksi lebih dulu di Eropa, lewat media massa, komentar atau diskursus para pemimpinnya. Saya melihat dan mendengar sendiri bagaimana kabar-kabar tentang Indonesia dimanipulasi, dipelintir dan sangat memojokkan bahkan memfitnah (terutama) pemerintah Orde Baru dan Suharto. Di negeri sendiri, hingga hari ini, saya tidak pernah mau mengikuti ajakan untuk demonstrasi di jalanan. Namun di negeri anggur itu, hampir seminggu dua kali saya mengajak siapa pun orang Indonesia di kota saya belajar, melakukan demo menentang pemberitaan media massa maupun para pemimpin Barat yang saya anggap terlalu jauh mencampuri persoalan internal bangsa Indonesia.

Namun di balik banyak fitnah itu, kebebasan pers Barat juga menyajikan berita-berita dalam negeri yang tidak pernah terungkap di media massa lokal. Termasuk apa yang terjadi saat Presiden Suharto menawarkan satu bentuk kekuasaan kolegial pada sembilan pemuka agama pada 18 Mei 1998. Sebuah tawaran yang jika dinilai secara wajar cukup elegan, karena kuasa dipegang oleh para pemimpin rakyat, yang notabene tokoh-tokoh Islam (membuktikan keberpihakan dan keyakinan Suharto pada agamanya). Namun tawaran elegan dan sebenarnya menjadi kompromi dan solusi politik yang positif itu ternyata secara “heroik” ditolak, terutama oleh dua tokoh yang menjadi pemimpin informal sembilan tokoh itu: Cak Nur dan Gus Dur.

Lihat juga...