Pengelolaan Limbah Radioaktif Harus Jamin Keamanan
Editor: Koko Triarko
“Kalau Plutonium-239 itu waktu luruhnya 24.100 tahun. Ini termasuk bahan radioaktif yang panjang waktu luruhnya. Karena itu, tempat penyimpanan akhir limbah radioaktif memiliki ketahanan hingga puluhan ribu tahun, ya untuk bahan-bahan seperti plutonium ini,” urainya.
Prinsip ke dua adalah menjaga agar gelombang radioaktif bisa ditahan agar tidak menembus pelapisnya, atau yang biasa disebut perisai. Jenis perisai yang digunakan ditentukan berdasar pada gelombang radiasinya. Jika Alpha itu bisa ditahan dengan kertas atau kulit, Beta oleh Alumunium, Gamma oleh timbal atau Lead dan Neutron dengan menggunakan concrete atau beton.
“Kalau di BATAN, setelah dibungkus dengan Timbal, maka dimasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari beton. Jadi, sangat aman,” tegas mantan Kepala BATAN ini.
Prinsip ke tiga, penyimpanan limbah radioaktif adalah sedapat mungkin volumenya direduksi atau dikurangi. “Kalau limbah cair kita evaporasi. Kalau limbah padat kita kompaksi. Sehingga bisa lebih efisien dalam pengelolaan. Tapi ada juga yang tidak bisa direduksi, kalau sudah tak bisa, maka kita akan simpan dalam bentuk gelondongan,” ucapnya.
Untuk prinsip ke empat adalah solidifikasi, untuk mencegah limbah mengalir ke tempat lain. Atau dengan proses divitrifikasi atau penggelasan bagi yang memiliki aktivitas tinggi.
“Prinsip ke lima adalah penyimpanan akhir atau disposal. Ketentuan disposal ini sudah ada. Misalnya, untuk limbah aktivitas tinggi harus ada pada kedalaman tertentu, misalnya 500 meter di bawah tanah dan harus di lapisan bentonit,” ujarnya.
Di Indonesia sendiri, menurut Djarot, proses pencarian lokasi penyimpanan akhir atau penyimpanan lestari ini sudah dilakukan dan sudah ada beberapa calon lokasi.