Menanggulangi Sampah dengan Mengubah Pola Pikir
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
JAKARTA – Mengelola sampah ternyata bukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), seperti yang biasa dipahami. Tapi mengelola sampah seharusnya sebelum sampah itu diciptakan. Dengan cara, selalu mempertimbangkan setiap pola konsumsi atau pilihan produk agar tidak meninggalkan sisa yang tak bisa diurai bumi.
Founder Yayasan Bumi Langit, Iskandar Waworuntu, menyatakan, dalam pengaplikasian permakultur, sampah bukanlah sisa.
“Tapi sesuatu yang tidak seharusnya ada sejak awal. Artinya, sebelum kita melakukan sesuatu, kita harus berpikir apakah tindakan kita meninggalkan residu atau tidak, meninggalkan sampah yang tidak bisa terurai atau tidak,” kata Iskandar dalam diskusi online lingkungan, Rabu (3/3/2021).
Ia menyebutkan, mayoritas sampah yang ada sekarang adalah sisa dari gaya hidup manusia.
“Bukan kebutuhan ya. Tapi gaya hidup. Contohnya begini, saat kita sebenarnya cukup dengan barang A, tapi karena adanya campur tangan industri melalui promosi masif, akhirnya kita membeli barang B yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Akhirnya, barang A menjadi sampah,” urainya.
Atau, karena gaya hidup instan, akhirnya para orang tua lebih memilih makanan instan untuk anaknya dibandingkan memasak sendiri.
“Dari makanan instan ini sudah jelas, ada sisanya, berupa plastik yang jelas tak terurai oleh tanah. Berbeda kalau masak sendiri. Apalagi kalau sudah berbelanja menggunakan wadah pakai ulang, bukan plastik kresek. Kita sudah memotong jumlah plastik yang cukup banyak,” ungkapnya.
Dan tanpa disadari, lanjutnya, para pengelola sampah itu menjadi kelompok yang paling rentan hidupnya.
“Mereka bergumul tiap hari dengan benda-benda yang bisa mengkontaminasi mereka. Baik itu bakteri atau virusnya, baik residu kimianya maupun residu radiasinya. Secara jangka panjang ini tidak akan baik untuk mereka,” tandasnya.