Inilah Pengalaman Jatuh Bangun Berbisnis Hijab
Arwin juga kerap berbohong kepada keluarga di kampung dan mengatakan bahwa ia sudah makan enak di Jakarta. “Kenyataannya saya hanya makan tempe goreng. Saya berbohong demi menyenangkan ibunda,” kata Arwin.
Sebulan menumpang dan makan seadanya di rumah kolega, perlahan usaha konveksi sahabatnya itu menurun dan hampir gulung tikar.
“Saat itu dia hampir putus asa. Tidak tahu mau buat apa lagi dan uang tinggal Rp5 juta. Saya kemudian punya ide untuk membuat kemeja. Saya tahan satu penjahitnya, lalu pergi ke penjual bahan untuk membuat kemeja. Barang habis, dapat uang Rp7 juta lalu saya putar lagi uang Rp7 juta itu sampai akhirnya konveksi tidak jadi tutup,” tambah lelaki yang besar di Kendari, Sulawesi Tenggara itu.
Setelah empat tahun berbisnis bersama sahabatnya, Arwin memutuskan untuk membuat brand fesyen sendiri dan memiliki toko di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sayang, usaha pakaiannya terpaksa gulung tikar.
Saat itu, kata Arwin, ada dua faktor utama mengapa ia mengalami kegagalan. Pertama adalah karena terlalu fokus dengan Bugis Hijab dan kedua, karena memiliki tim yang kurang kompeten di bidangnya.
“Tapi mulai saat itu, kami akhirnya berpikir untuk mengembangkan bisnis hijab yang memang memiliki pasar yang sangat besar,” tambah Arwin Burhan.
Di tengah pandemi, banyak toko yang terpaksa ditutup sementara karena adanya pembatasan ruang gerak. Bugis Hijab juga mengalaminya. Penjualan di toko fisik saat pandemi diakui menurun, tapi konsumen beralih ke toko daring.
Ramainya peminat di toko daring membuat mereka fokus mengembangkan pemasaran dan jual beli secara daring untuk memperluas jangkauan. Berkat online, omzet Bugis Hijab naik 50 persen dibanding sebelum pandemi.