Usaha Pembuatan Genteng di Lamsel Diproduksi Secara Tradisional
Editor: Makmun Hidayat
Memiliki anak yang sudah duduk di bangku SMA, Sarji mengaku belum ada tanda sang anak mengikuti jejaknya. Pekerjaan membuat genteng sebutnya kerap dibantu sang anak namun ia belum bisa memastikan peluang usaha tersebut akan diteruskan. Meski demikian ia mengaku memberi dukungan kepada sang anak agar bisa meneruskan produksi genteng.
“Modernisasi alat sekaligus cara penjualan memakai media sosial jadi cara meningkatkan penjualan dibantu sang anak,” tegasnya.
Dalam sebulan Sarji menyebut bisa mendapat pesanan hingga 10.000 buah genteng. Hasil hingga Rp9juta sebutnya digunakan untuk biaya operasional angkutan,bongkar muat. Hasil penjualan akan dipergunakan membeli bahan baku tanah liat Rp350.000 per mobil L300. Biaya pengolahan dengan mesin mencapai Rp100.000. Ia masih bisa mendapat keuntungan bersih ratusan ribu per seribu batu bata.
Sebagai sumber rezeki keluarga,warisan keahlian membuat genteng tetap dipertahankan olehnya. Kendala utama sebutnya regenerasi keahlian. Meski sang anak tetap membantu ia menyebut sebagian warga lain juga mulai kehilangan generasi penerus produsen genteng. Mengadu nasib di Jakarta pada pabrik tekstil jadi pilihan sejumlah anak muda.
“Regenerasi untuk produsen genteng butuh pendekatan orangtua,dukungan agar usaha ini tetap berjalan,” bebernya.
Senada dengan Sarji, produsen genteng lain bernama Hasran di Desa Tanjungsari tetap bertahan. Warisan keahlian turun temurun sebutnya jadi mata pencaharian utama selain bertani. Pekerjaan mengolah lahan sawah sebutnya telah dilakukan dengan alat traktor. Penanaman hingga panen telah memakai jasa buruh sehingga produksi genteng bisa berjalan.