Menilik Bangunan Tua Saksi Sejarah Kampung Melayu di Semarang
Editor: Koko Triarko
“Selain itu, ukuran jendela juga besar-besar, seperti bangunan di kawasan Kota Lama, hanya saja di wilayah ini sering terjadi rob. Jadi mesti diuruk tanah, agar tinggi sehingga air tidak masuk. Akibatnya, tinggi bangunan jadi berkurang,” terangnya.
Nurul menunjukkan pilar kayu jati yang ada di tengah ruangan. Ada empat pilar yang digunakan untuk menyangga papan lantai dua. Kesemuanya terbuat dari kayu jati. Kini tinggi pilar tersebut hanya tersisa 3/4, sementara 1/4 bagian lainnya sudah terpendam tanah urug. Meski demikian, ketinggian pilar tersebut masih tersisa sekitar tiga meter.
“Jadi dulu dalam ruangan ini lebih tinggi. Saya masih ingat dulu menempati rumah ini, sekitar 1970-an, saat saya masih TK. Kurang lebih 50 tahun yang lalu,” paparnya.
Beberapa tembok di sudut ruangan bangunan Belanda bergaya arsitektur Cina itu juga mulai runtuh. Kayu dan papan jati yang ada di lantai dua juga mulai termakan usia, meski diakui Nurul masih dimanfaatkan sebagai ruang tidur.
Sementara di sudut bangunan, beberapa tumbuhan juga dibiarkan tumbuh merayap di sela-sela tembok yang batu batanya mulai nampak tergerus dan terkelupas lapisan semennya.
”Untuk membangun rumah ini tidak diperbolehkan, karena ini bangunan cagar budaya. Selain itu biayanya juga mahal, paling saya perbaiki hal-hal yang kecil, yang tidak mengubah bentuk dan isi bangunan. Semuanya ini masih asli, termasuk pilar, lantai kayu dan lainnya,” terangnya.
Uniknya, Nurul hanya berstatus sebagai penyewa bangunan, karena bangunan dan lahan tersebut merupakan wakaf Yayasan Al Irsyad, pengelola Masjid Layur Semarang yang jaraknya hanya sepenggalan dari rumah tersebut.