Produk Radiofarmaka Isi Ketertinggalan Industri Obat Lokal

Editor: Koko Triarko

JAKARTA – Sama halnya dengan jenis obat lainnya dalam industri obat nasional, produk radiofarmaka yang merupakan hasil riset pengembangan teknologi radiasi oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional juga harus melewati proses evaluasi kelayakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengembangan radiofarmaka ini, dinyatakan mampu mengisi industri obat lokal, yang selama ini lebih banyak menggunakan produk impor.

Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dr. Lucia Rizka Andalusia, Apt., M.Pharm., MARS., menyatakan produk radiofarmaka memiliki nilai ekonomis tinggi dan waktu yang lebih cepat dalam pengembangannya, dibandingkan obat berbasis bahan kimia. Dan, berpotensi untuk mengisi ketertinggalan Indonesia dalam industri obat.

“Radiofarmaka ini diberikan dalam jumlah sangat kecil, sehingga efek farmakologinya kecil sekali atau tidak ada. Yang ada hanya efek radiasi. Umur paruhnya juga pendek. Penggunaanya ada di rumah sakit yang memiliki kedokteran nuklir dan di bawah pengawasan BAPETEN,” kata Siska, dalam rangkaian talkshow online Perayaan Ulang Tahun BATAN, Selasa (1/12/2020).

Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dr. Lucia Rizka Andalusia, Apt., M.Pharm., MARS., dalam rangkaian talkshow online Perayaan Ulang Tahun BATAN, Selasa (1/12/2020). –Foto: Ranny Supusepa

Produk Radiofarmaka ini, lanjutnya, juga harus mengikuti pedoman CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan juga harus mematuhi beberapa peraturan, seperti KepMenkes RI No 8/2009 atau Per KaBPOM No.24/2017.

Lihat juga...