Sandi Florata Intens Edukasi Warga Manfaatkan Hutan
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
MAUMERE – Banyak warga di berbagai desa yang ada di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak turun temurun membuat pemukiman dan menetap di dalam kawasan hutan lindung maupun hutan produksi.
Awalnya perkampungan di dalam hutan lindung dan hutan produksi dilarang, termasuk membuka lahan kebun sehingga warga pun harus didampingi untuk memperoleh status legal agar tidak melanggar aturan.
“Kami melakukan proses pendampingan terhadap masyarakat di dalam hutan lindung. Berawal dari konflik antara masyarakat dan pemerintah,” kata Alfons Hery, Sekretaris Yayasan Kasih Mandiri, Flores, Alor dan Lembata atau Sandi Florata, saat ditemui di Kota Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (11/11/2020).
Alfons menjelaskan, masyarakat bertahan dan tetap mengelola kebun di dalam kawasan hutan karena menganggap lahan tersebut milik mereka yang ditempati secara turun temurun.
Sementara pemerintah kata dia, juga berpegang pada aturan yang melarang masyarakat menetap, dan membuka lahan kebun di dalam kawasan hutan, sehingga ada perbedaan pendapat antara pemerintah dan masyarakat.
“Sekitar tahun 1950-an sudah terjadi penetapan batas dan kawasan hutan. Tahun 1984 terjadi penetapan kawasan hutan dan ada perluasan sehingga sebagian besar tanah masyarakat dijadikan kawasan hutan,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelola Hutan (UPT KPH) Kabupaten Sikka, Herry Siswadi menyebutkan, saat ini sudah banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan yang sadar berkat pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Selain itu kata Herry, pihaknya pun terus melakukan sosialisasi bahkan memproses hukum warga yang melakukan pelanggaran terkait membakar kawasan hutan lindung dan menebang kayu di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi.