Ini Strategi Kopi Gunung Telomoyo Jual 40 Kilogram per Bulan
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Untuk kemasan saya beli dari Surabaya, sementara proses sablon dan pengepakan dilakukan di Kota Semarang,” terangnya.
Dijelaskan, dengan pengemasan yang menarik, minat beli konsumen juga meningkat. Tidak hanya dibeli untuk konsumsi sendiri, pembelian juga dilakukan sebagai cinderamata atau oleh-oleh.
“Karena kemasan bagus, kesannya lebih eksklusif, jadi orang mau beli pun tidak malu, kalau buat oleh-oleh,” tambah pria, yang juga berprofesi sebagai petani kopi tersebut.
Selain itu, keberhasilan bertahan di tengah pandemi juga didukung dari harga jual yang terjangkau, untuk kopi kemasan 150 gram dijual seharga Rp 20 ribu. Tidak hanya itu, dirinya juga menawarkan beragam jenis kopi sebagai alternatif pilihan.
“Saya ada kopi robusta, arabica, wine dan exelsa. Khusus untuk wine, ini menjadi salah satu andalan, dan hasil kreasi kita sendiri. Sebelum diolah menjadi kopi, biji kopi yang masih ada kulitnya, kita fermentasikan terlebih dulu,” paparnya.
Setelah itu, ada sejumlah tahap, mulai dari penjemuran, fermentasi kembali hingga pada akhirnya dijemur sampai kering, untuk kemudian dilakukan proses pengupasan dan diolah menjadi kopi bubuk.
“Saya berharap, usaha kopi ini bisa tetap bertahan, meski saat ini masih terjadi pandemi. Minat masyarakat untuk minum kopi sebenarnya masih tinggi, hanya saja ada keraguan untuk datang ke kafe atau warung kopi. Jika demikian, ngopi di rumah juga bisa menjadi pilihan, dengan beragam varian kopi yang ada,” tandasnya.
Sementara, salah seorang pengunjung sekaligus penikmat kopi, Haris, mengaku tertarik dengan kopi gunung telomoyo.
“Meski sama-sama kopi arabica atau robusta, namun rasanya berbeda. Mungkin dari proses atau cara masak biji kopi atau pengaruh dari ketinggian penanaman pohon kopi,” terangnya.