Identitas Politik Islam
OLEH: HASANUDDIN
Lihat pula bagaimana respons Justin Trudeu, Perdana Menteri Kanada, atau Vladimir Putin di Rusia yang dengan jelas dan terang mengutuk sikap Macron atas penerbitan Kartun Nabi Muhammad saw oleh Charlie Hebdo. Sebaliknya perhatian Presiden UEA yang mendukung Macron, semua itu terkait dengan politik identitas.
Kepulangan Habib Rizieq ke Tanah Air, dan konsolidasi gerakan oposisi di luar parlemen akhir-akhir ini, dapat dibaca sebagai bagian penegasan tentang identitas politik; Islamisme politik, sebutlah demikian. Dapat dikatakan bahwa pembentukan poros politik identitas ini akan terus berkonsolidasi hingga Pilpres 2024.
Tentu tidak ada jaminan bahwa cluster politik yang dibangun ini akan memenangkan Pilpres 2024, masih terlalu pagi untuk membuat kesimpulan demikian. Apalagi fakta menunjukkan bahwa Islamisme politik di Indonesia ini tidak pernah sukses terkonsolidasi, sehingga kalah terus dalam setiap kontestasi politik. Apakah kali ini upaya itu akan berhasil? Kita lihat saja nanti.
Pertanyaan penting yang mesti dijawab oleh para tokoh politik Islam adalah sejauh mana mereka menerjemahkan ajaran Al-Quran dalam implementasi strategi politik mereka.
Politik dalam Islam itu bagian dari syiar Islam. Tujuannya untuk “min syaairin Llah”. Jika hal ini diabaikan, sesungguhnya gerakan politik itu, tidak bisa disebut politik Islam. Hanya politik bersimbol Islam saja. Dan selama ini, itulah yang terjadi.
Untuk menjadikan politik itu memenuhi apa yang disebut sebagai “min syaairin Llah”, maka perhatikanlah firman Allah sebagai berikut:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125) }