Cita Rasa Kopi Murni Belum Banyak Terekspos
Editor: Makmun Hidayat
Terkait kesediaan suplai, Yopi mengaku tidak merasa khawatir. Apalagi takut tersaingi.
“Kalau masalah suplai, gak khawatir. Jumlah pohon kopi di hutan itu banyak sekali. Apalagi saat musim hujan begini. Buah kopi yang matang dan jatuh ke tanah akan tumbuh menjadi pohon kopi baru. Dan pohon kopi yang lama kan juga tidak rusak,” paparnya lebih lanjut.
Memang proses mencari kopi di hutan ini bergantung pada cuaca. Jika cuaca buruk, para pemburu tidak akan berangkat ke hutan.
“Selain masalah cuaca, kemarin juga sempat menjadi masalah pada pengiriman. Karena masalah COVID 19, pengiriman jadi delay ke Jakarta. Akhirnya kita juga telat mengirimkan ke pembeli. Tapi sekarang-sekarang sih sudah mau normal,” ujarnya.
Untuk pengemasan, Yopi menyebutkan dirinya hanya mencantumkan komposisi. Nanti kemurnian kopi akan dites langsung oleh pembeli.
“Saya hanya berperan sebagai penyuplai kopi. Untuk display kemasan itu bergantung dari pembeli. Seperti, pembeli dari Hong Kong, mereka yang melakukan tes di laboratorium dan mereka memberikan hasilnya untuk dicantumkan di kemasan. Dan mereka cocok dengan kopyopi ini. Awalnya, mereka menggunakan kopi vietnam sebagai andalan. Tapi sejak ada kopiyopi, ya beralih lah,” ujarnya sambil tertawa.
Potensi perkembangan kopi murni di Indonesia sendiri, diakui Yopi agak berat. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia belum memiliki idealisme dalam cita rasa. Berbeda dengan market di luar negeri yang lebih mengutamakan cita rasa dan kepuasan.
“Saya pernah kirim Wine Arabica Coffee ke Hong Kong. Ini adalah jenis kopi yang sudah diracik hingga terasa seperti wine. Per cangkirnya mereka jual Rp1 juta per cangkir dan laku. Karena apa, mereka mengutamakan kepuasan yang mereka dapatkan dari kopi yang mereka beli,” tandasnya.