Kisah Penampung Gurita di Ende, Bertahan di Tengah Pandemi Corona
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Sejak tahun 2009 itu akhirnya saya bekerja menampung gurita dari nelayan. Beberapa penampung gurita besar pernah bekerjasama dengan saya dan saya melihat mereka ambil untung besar, sehingga tahun 2018 saya daftar jadi penampung resmi di pabriknya,” ungkapnya.
Fudin mengenang, sejak jadi penampung sendiri dan langsung menjual ke pabrik, harga jual gurita saat itu Rp40 ribu per kilogramnya. Sehari dia bisa menampung gurita hingga minimal 300 kilogram.
Selama ini sebutnya, penampung dari luar wilayah membeli gurita dari nelayan dengan harga murah dan menjualnya ke pabrik dengan harga mahal. Ini yang membuatnya hanya mengambil untung minim dari nelayan.
“Kasihan para nelayan yang bersusah payah bekerja di laut tapi yang dapat untung besar para penampung. Makanya saya punya prinsip harus kerja jujur. Nelayan dan penampung harus sama-sama untung,” tuturnya.
Selama pandemi Corona, Fudin mengaku hanya menjual gurita ke pabrik penampung di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Penampung gurita lainnya di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur sudah tutup.
Kondisi ini menurutnya membuat dirinya kesulitan menjual gurita hasil tangkapan nelayan. Tetapi dirinya tetap menerima gurita dari nelayan karena bila tidak diterima nelayan bingung menjual ke mana.
“Harganya juga turun drastis dari sebelumnya Rp40 ribu per kilogramnya, saat ini hanya Rp15 ribu per kilogramnya. Kasihan nelayan pendapatannya berkurang dan kita tidak ada pilihan karena pabrik pembelinya cuma satu saja,” ucapnya.
Saat ditanya apa enaknya jadi penampung gurita, Fudin lantang katakan, jadi penamupung gurita bisa mendapatkan uang lumayan.