Imbas Covid-19, Pelaku Kesenian di Lamsel Terpaksa Ngamen
Editor: Koko Triarko
Pelaku usaha kesenian asal Desa Tanjungsari, Kecamatan Palas, Lampung Selatan, itu menyebut sekali keliling grup kesenian musik angklung bisa mendapat Rp1juta. Namun, kini untuk mendapat hasil ratusan ribu cukup sulit.
Frekuensi keliling bermain alat musik, menurut Sulimah terus berkurang. Pasalnya, saat berkunjung ke beberapa desa selama masa pandemi Covid-19, grup musik tidak bisa masuk ke permukiman. Posko gugus tugas Covid-19 menyarankan untuk mengamen di lokasi lain dengan alasan desa tersebut tidak bisa dimasuki oleh warga dari wilayah lain.
“Kami tetap bisa masuk, namun dengan proses penyemprotan disinfektan, namun warga tidak ada yang keluar rumah,” cetusnya.
Pasar dan pusat keramaian masih potensial untuk mendapatkan hasil dari mengamen dengan musik angklung. Penghasilan yang tidak menentu, diakuinya tetap memberi semangat untuk melestarikan kesenian tradisional.
Ia juga menyebut, belum tahu sampai kapan pandemi akan berlangsung, sehingga ia bisa menerima order untuk tampil pada sejumlah acara.
Mendapat order untuk acara khitanan, pernikahan grup musik, angklung bisa dibayar Rp1,5juta. Saat tampil dengan memainkan angklung dan dikombinasikan dengan organ, perolehan hasil saweran bisa mencapai Rp2juta. Sejak tidak ada order, omzet yang diperoleh merosot tajam.
“Melawan rasa lelah dan panas saat keliling, tetap kami lakukan untuk mendapat penghasilan,” tegasnya.
Hal yang sama dialami oleh grup musik angklung Banyoe Biroe. Heri, salah satu pemain angklung menyebut, kerap menerima panggilan acara pernikahan, khitan dan ulang tahun. Namun pembatasan acara selama pandemi Covid-19, memaksanya menggelar perfomance di tepi jalan. Lokasi perbatasan antara Lamsel dan kota Bandar Lampung menjadi pilihan.