Baik-Buruknya Demokrasi, Pelajaran dari Perang Uhud
OLEH HASANUDDIN
Tidak lama sebelum pertempuran berlangsung, dua kelompok masing-masing dari Banu Salamah (dari suku Aus) dan dari Banu Haritsah (dari suku Khazraj), patah semangat dan melakukan pembelotan, dengan dalih jumlah mereka terlalu sedikit.
Dengan jumlah pasukan yang makin berkurang, hanya sekitar 400an orang Nabi mengatur taktik lapangan. Sekitar 50 orang pemanah ditempatkan di suatu bukit yang memiliki posisi strategis untuk membidik pasukan musuh. Dengan pesan, mereka tidak boleh meninggalkan pos-nya dalam keadaan apa pun. Dan hasilnya luar biasa, serangan satuan pemanah ini, mampu membuat kocar-kacir pasukan. Melihat situasi pasukan lawan kocar-kacir, satuan pasukan pemanah ini kegirangan, merasa telah menang. Mereka mengabaikan perintah Nabi agar tidak meninggalkan pos-nya, selagi pertempuran belum usai.
Salah satu panglima perang dari kaum musyrikin pada perang Uhud tersebut adalah Khalid bin Abi Walid (waktu itu beliau belum masuk Islam). Dia bersama satuan pasukan berkuda yang dipimpinnya mengambil jalan memutari bukit, dan berhasil mengambil pos strategis yang ditinggal pasukan pemanah tadi. Situasi jadi berbalik, pasukan Nabi terdesak dasyat naik ke Gunung Uhud. Tidak terkecuali Nabi pun mengalami luka parah.
Dalam situasi terdesak, tersiar kabar di tengah pasukan Nabi bahwa Nabi telah gugur. Semangat pasukan makin menurun. Umar Ibnu Khattab yang memahami situasi psikologis pasukannya berteriak, jika betul Nabi sudah gugur untuk apalagi kita hidup !! Teriakan Umar membangkitkan semangat pasukan Nabi, dan melancarkan serangan “bunuh diri”. Tidak terlihat lagi ada yang ketakutan. Sesaat kemudian, tersiar kabar bahwa Nabi masih hidup dan hanya terluka saja. Informasi tersebut semakin menguatkan semangat jihad kaum muslimin, kekuatan setiap orang dari mereka jadi berlipat-lipat dengan bangkitnya semangat tidak takut mati.