Penguatan Sistem Pemantauan Gunung Api, Turunkan Dampak Negatif
Editor: Makmun Hidayat
JAKARTA — Penguatan sistem pemantauan pada aktivitas gunung api, diharapkan mampu menurunkan risiko dari dampak negatif yang mungkin terjadi. Dan harapannya, data ilmiah ini akan mendasari kebijakan mitigasi yang tepat.
Kepala Subdit Bidang Mitigasi Bencana Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Devi Kamil Syahbana menyampaikan bahwa salah satu prioritas PVMBG dalam melakukan pengamatan adalah memperkuat sistem pemantauan dari aktivitas gunung api yang berpotensi menyebabkan tsunami.
“Dari seluruh gunung api yang ada di Indonesia, PVMBG mencatat ada enam yang berdasarkan historisnya yang membutuhkan pemantauan lebih karena adanya korelasi dengan kejadian tsunami yang mengakibatkan korban jiwa,” kata Devi saat Zoom Webinar, Selasa (30/6/2020).
Yaitu, Anak Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883 dan 2018, Tambora yang meletus pada tahun 1815, Rokatenda yang meletus pada tahun 1928, Ruang yang meletus pada tahun 1871, Gamkondra yang meletus pada tahun 1673 dan Ile Werung Hobal yang meletus pada tahun 1973,1979 dan 1983.

Dan dari enam gunung api yang berada di bawah laut, Hobal, Yersey, Emperor of China, Nieuwerkerk, Banua Wuhu dan Sangir, dua diantaranya yaitu Hobal dan Banua Wuhu memiliki korelasi dengan kejadian tsunami.
Untuk Anak Krakatau, lanjut Devi, sesuai dengan Perpres No. 93 tahun 2019, sudah dilakukan pemasangan sistem pemantauan berupa satu set broadband seismometer, dua set short-period seismometer, tiga unit sensor infrasound, satu set tiltmeter dan dua set CCTV.