Untuk menghindari perdebatan berkepanjangan sementara jadwal penutupan sidang sudah diagendakan, akhirnya Nasution memutuskan hanya memberitahu kepada para Wakil Ketua MPRS tentang ketidakbersediaan Pak Harto mengucapkan sumpah sebagai Pejabat Presiden.
Pada acara puncak Sidang Istimewa MPRS yaitu pengucapan sumpah Pejabat Presiden; Pak Harto berdiri di hadapan Nasution yang membacakan Tap. MPRS No XXXIII pasal 4 yaitu: “Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No XV tahun 1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.”
Mungkin karena euforia anggota MPRS dan tamu undangan yang hadir di sidang itu tidak menyimak dengan cermat yang diucapkan oleh Nasution, ditambah kelelahan akut mengalami kebuntuan politik hampir selama dua tahun pasca pemberontakan G30S/PKI, plus kehendak yang kuat ingin segera mengakhiri dualisme pimpinan nasional, hingga usai Nasution membacakan Tap. MPRS tersebut, suara gemuruh dan tepuk tangan memenuhi ruang sidang sebagai suka cita karena kemelut politik berkepanjangan dan dualisme pimpinan nasional berakhir.
Masih Menghendaki Bung Karno Menjadi Presiden
Jika sebelumnya setiap tanggal 17 Agustus Presiden Soekarno berpidato di Istana Merdeka di hadapan masyarakat dan pidato itu dijadikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Pak Harto sebagai Pejabat Presiden mengubahnya dengan mengucapkan pidato setiap tanggal 16 Agustus di depan sidang paripurna DPR, melaporkan fakta segala segi kehidupan masyarakat dan langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah.