Pengamat: ‘New Normal’ Harusnya Alamiah, Hasil ‘Habitual Learning’

JAKARTA — Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia, pemerintah mencanangkan kesiapan untuk memasuki era kenormalan baru (new normal) dengan melakukan pengetatan protokol kesehatan di tempat publik. Setidaknya ada empat provinsi dan 25 kabupaten/kota yang akan memulai penerapan fase baru tersebut.

Pengamat sosiologi, Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc, menyebutkan bahwa apa yang sedang dipikirkan dan yang akan dibijaki oleh pemerintah ini, dapat dipahami. Karena secara terbuka mudah dipahami kalau pemerintah tidak mungkin akan bertahan lebih lama lagi dalam posisi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang ketat.

“Kondisi ekonomi akan tambah berat dan beban yang dipikul masyarakat tidak akan tertahankan. Lantas muncullah beberapa skenario yang salah satunya adalah new normal itu,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Cendana News, Rabu (27/5/2020).

Bustami Rahman yang juga Ketua Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai (LAM NSS), Provinsi Bangka Belitung, ini lantas mempertanyakan apa yang kira-kira bakal terjadi jika new normal yang seharusnya merupakan kondisi ‘alamiah’ hasil habitual learning tiba-tiba dipaksakan menjadi kebijakan publik.

“Mungkin penerapan new normal bisa diterapkan (dan juga dipertahankan) di kalangan lembaga pemerintah dan BUMN. Namun, berapa persen yang akan dapat bertahan dalam kondisi new normal?” tanya mantan rektor pertama Universitas Bangka Belitung (UBB) ini.

Bustami pun membuat kalkulasi secara statistik. Jika ada 30% dari penduduk yang bisa menerapkan new normal, maka 70% lainnya masih menerapkan kebiasaan lama atau kenormalan lama (old normal).

Lihat juga...