PAK HARTO mengawali pemerintahannya pada 12 Maret 1967, dalam kondisi berbagai perangkat kenegaraan (politik, keamanan, ekonomi) dalam keadaan rusak atau terpuruk.

Keamanan tidak kondusif akibat dari pemberontakan G30S/PKI. Di bidang ekonomi terjadi hiperinflasi hingga 650%, sementara negara tidak memiliki devisa untuk impor bahan pangan yang pada waktu itu sedang mengalami kelangkaan pangan — rakyat makan bulgur, makanan kuda di Amerika.
Ditambah 80% rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, 40% rakyat usia sekolah masih buta huruf. Artinya, dari 10 orang dalam usia dimaksud, 4 orang tidak dapat membaca.
Sementara pada waktu itu Yuri Gagarin dari Rusia sudah mengarungi angkasa luar, Amerika sedang mempersiapkan astronot mendarat di bulan, Jepang menguasai pasar elektronik dunia — sedangkan Indonesia, dengan material strata pendidikan penduduk tersebut, apa yang dapat dilakukan oleh bangsa ini? Membuat pacul pun belum tentu bisa!
Setelah hiperinflasi 650% dapat dijinakkan hingga turun di bawah 10% dalam jangka tiga tahun pada tahun 1969, kelangkaan pangan dapat diatasi dan tidak lagi terjadi kelangkaan.
Pak Harto mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun 1973 tentang pembangunan Sekolah Dasar (SD) secara masif yang kemudian berhasil mengubah struktur pendidikan sekaligus mengubah tingkat kecerdasan masyarakat secara revolusioner, yang kemudian berdampak pada kenaikan tingkat pendapatan masyarakat.
Atas keberhasilan Pak Harto mengubah strata pendidikan di Indonesia sekaligus melaksanakan pesan konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, pada Maret 1993, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menganugerahkan “Avicenna Medals”.