Mengenal Tradisi ‘Maleman’ di Bekasi
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
BEKASI – Pada masyarakat Betawi Bekasi, Jawa Barat, di sepertiga akhir Ramadan menjadi masa istimewa. Ada tradisi atau budaya unik yang dilakukan masyarakat di malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan puasa, lazim dikenal dengan nama maleman atau ngidang.
Pada malam ganjil mulai tanggal 21 Ramadan, 23, 25, 27 dan 29 Ramadan adalah malam yang ditunggu untuk dapat berjumpa dengan malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Malam-malam ganjil diyakini sebagai malam turunnya wahyu Alquran, kaum muslim juga menyambut datangnya malam Lailatul Qadar. Pada malam-malam ganjil tersebut umat muslim biasanya melakukan iktikaf di masjid sambil mengaji membaca Alquran.
Budayawan Bekasi, Majayus Irone, mengingatkan bahwa ada tradisi unik di malam-malam ganjil tersebut yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi Bekasi di setiap kampung. Bahkan masing-masing kampung memiliki cara tersendiri di malam ganjil tertentu untuk melakukan tradisi ngidang atau maleman.
Ngidang atau maleman merupakan tradisi membawa kue-kue, minuman dan makanan ringan oleh masyarakat secara sukarela diantar ke masjid dan musala. Kue yang terkumpul dikelola oleh pengurus musala atau masjid untuk dihidangkan setelah salat Isya dan tarawih.
“Maleman atau ngidang merupakan tradisi yang juga diisi pengajian, tahlil, ceramah agama singkat yang dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat atau ustaz,” ungkap Majayus Irone kepada Cendana News, Minggu (10/5/2020).
Menurutnya, maleman atau ngidang menjadi acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak tempo dulu, karena mereka dapat menikmati makanan dan minuman secara gratis dan bersama-sama. Ngidang atau maleman di tiap kampung berbeda waktu dan tanggalnya.