ICW Minta Pembahasan RUU PAS Dihentikan
Di luar dari substansi RUU PAS, terdapat beberapa poin yang harus dipertimbangkan oleh DPR dan Pemerintah sebelum melanjutkan pembahasan regulasi ini.
“Misalnya momentum yang tidak tepat, semestinya DPR dan pemerintah mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dengan mengeluarkan paket kebijakan atau pun regulasi yang mendukung hal tersebut. Namun yang dilakukan justru sebaliknya, DPR dan pemerintah justru ingin mempercepat produk legislasi bermasalah seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Cipta Kerja, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU PAS,” tegas Kurnia.
Pembahasan RUU PAS juga bertentangan dengan suara masyarakat yang pada September 2019 lalu menolak beberapa rancangan regulasi termasuk RUU PAS. Bahkan saat ini terdapat sebuah petisi di kanal change.org terkait penolakan RUU PAS yang telah ditandatangani lebih dari 13 ribu orang.
“Selain itu RUU PAS juga menjauhkan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi karena keberadaan lapas menjadi ujung dari proses penanganan sebuah perkara, publik berharap lapas dapat menjadi tempat para narapidana korupsi menjalani masa hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan tapi jika di dalam lapas saja para pelaku kejahatan korupsi dapat dengan mudah mendapatkan pengurangan hukuman maka tentu pemberian efek jera tidak akan pernah maksimal,” tambah Kurnia.
Selanjutnya, RUU PAS juga menegasikan Kesepakatan “United Nation Convention Against Corruption” yang dalam pasal 30 ayat menyebutkan bahwa negara peserta diwajibkan memperhitungkan ringan/beratnya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan kemungkinan pembebasan yang dipercepat atau pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi UNCAC dalam UU Nomor 7 Tahun 2006.