ICW Minta Pembahasan RUU PAS Dihentikan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana saat ditemui di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (9/3/2020) -Foto: ANTARA

“Penting untuk dicatat, data-data dugaan plesiran ini untuk membantah logika frasa ‘hak kegiatan rekreasional’ sebagaimana dicantumkan dalam RUU PAS. Sederhananya, dengan RUU PAS diprediksi akan semakin marak narapidana-narapidana yang akan melakukan plesiran di saat menjalani masa hukuman,” ungkap Kurnia.

Kedua, ketiadaan syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat. Hal tersebut merujuk pada Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

“Praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana. Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya,” jelas Kurnia.

Ketiga, RUU PAS menghapus ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 lalu mengembalikan pada PP Nomor 32 Tahun 1999. Artinya terjadi kemunduran pola pikir dari pembentuk UU, sebab PP No 99 tahun 2012 sebenarnya merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai “extraordinary crime”.

“Sebab, dalam PP 99/2012 terdapat beberapa syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimiliasi maupun pembebasan bersyarat, mulai dari harus menjadi ‘justice collaborator’ dan membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remisi dan mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari penegak hukum sebelum memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Pengetatan model seperti ini tidak terakomodir dalam PP/32/1999.” ungkap Kurnia.

Lihat juga...