Mainkan KPK sampai Ambyar
OLEH: BRIGJEN TNI (PURN) DRS. AZIZ AHMADI, M.SC
Kini, WS sudah “dipecat” oleh Dewan Kehormatan Pelaksana Pemilu (DKPP). WS dinilai tidak mandiri dan profesional dalam mengemban amanah. Padahal, dia tidak sedang mèncrèt.
Siap mainkan. Sebuah komitmen moral. Amat meyakinkan. Bentuk kesanggupan sempurna. Berintegritas. Sebuah komitmen dan kesanggupan melakukan/memerankan pekerjaan tertentu.
Namun, dalam konteks OTT (dugaan) korupsi ini. Telah terjadi “pembalikan” luar biasa. Vis a vis, diametral dan substansial. Komitmen moral sebatas oral. Akibatnya, terjadi gegar nalar. Timbul geger berita. Lalu gugur kepercayaan sosial.
Integritas pun begitu. Terjadi penggelapan nurani. Memadamkan pencerahan diri. Urip ora urup. Luput paugeran jati.
Kini, kata “siap mainkan”, tak lebih kecuali kalimat mainan. Ingat beras, ingat cosmos. Ingat, “siap mainkan”, ingat si WS, sang pecundang. Bukan main, nekatnya. Bermain-main dengan bukan mainan. Memainkan kepercayaan yang mestinya tidak main-main.
Logika Publik
Apa yang ditulis di atas, tidak terlalu penting. Jika perlu abaikan. Di atas segalanya, barangkali berikut ini yang penting. Logika publik yang terus melakukan perlawanan secara senyap/diam.
Selalu dinarasikan. (1) “Publik memiliki logika sendiri”. (2) “Publik memiliki rasa dan ukuran kebenaran dan keadilan sendiri”. (3) “Kebenaran memiliki jalannya sendiri”. (4) “Biarlah waktu yang membuktikan”.
Berangkat dari OTT terhadap WS, logika publik turut bicara. Konon, kasus ini mengusik kembali “praduga” atau residu imajinasi yang telah mengendap selama ini. Selama Pileg & Pilkada dilaksanakan secara langsung dengan sistem terbuka.
Setidaknya, kasus OTT terhadap WS – sekecil apap un – ditengarai turut mengonfirmasi: