CUACA terik siang itu berangsur-angsur meredup, dan tak lama kemudian berubah menjadi mendung. Sejauh mata memandang, langit di sisi utara berwarna kelabu, sebagian kehitaman di ujung barat. Rasa gerah oleh terik matahari sesiang tadi kini mulai berkurang.
Memang terasa aneh. Seperti pencuri di malam hari, mendung itu datang tiba-tiba nyaris tanpa sebuah tanda. Angin bertiup menghempaskan rasa dingin di permukaan kulit.
Aroma kelembaban mulai tercium. Anak-anak mulai gaduh melihat suasana di dalam kelas yang meredup. Mereka kesulitan membaca buku pelajaran karena cahaya matahari tak cukup terang. Bu Guru Tati mencoba menyalakan saklar berulang kali, tapi lampu tak bisa menyala.
Suasana semakin gaduh. Sebagian anak mulai tidak fokus memperhatikan Bu Guru Tati yang sudah kembali menerangkan soal puisi.
Para siswa yang duduknya di tepi diding, mulai berdiri dan melongokkan kepala keluar jendela. Hal itu memancing anak-anak yang lain untuk berdiri dan melempar pandang ke kejauhan.
Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemeritik di atas genteng. Hujan telah turun. Hujan pertama setelah kemarau panjang mendera Kampung Giritirto.
Anak-anak semakin banyak yang berdiri untuk menyaksikan hujan pertama yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Bu Guru Tati menghentikan ceramahnya. Menutup buku, ia kemudian memberi kesempatan pada anak-anak itu untuk menyaksikan hujan dari dalam kelas.
Di kepala Bu Guru Tati terbayang, anak-anak itu bisa membuat puisi tentang hujan. Tiba-tiba sebagian anak menoleh ke arah Bu Guru Tati yang diam.
“Boleh lihat hujan, Bu Guru?” tanya seorang anak.
Bu Guru Tati tersenyum.