Peradilan Satu Atap Pemilu
OLEH: M. IWAN SATRIAWAN
Hal ini berimplikasi kepada berbeda-bedanya lembaga penegak hukum pemilu yang mana tidak banyak dipraktikkan di negara-negara dunia.
Di Indonesia sendiri sejak adanya M.K pada tahun 2003 telah menjadi lembaga pemutus sengketa hasil pemilu, sedangkan MA menjadi lembaga pemutus pidana pemilu, dan Bawaslu berdasarkan UU No.7 Tahun 2017 menjadi lembaga pemutus sengketa administrasi pemilu, yang menyangkut pembatalan peserta pemilu oleh KPU.
Sedangkan DKPP hanya fokus pada penegakan kode etik penyelenggara pemilu dalam segala tingkatan baik KPU maupun Bawaslu.
Peradilan Satu Atap Pemilu
Mengonsep ulang atau menyusun kembali konsep penyelesaian perselisihan hasil pemilu dengan model peradilan cepat (speedy trial), dimaksudkan adalah untuk menemukan solusi alternatif terhadap penyelesaian perselisihan sengketa pemilu.
Baik sebelum maupun sesudah, hasil yang dapat memberikan rasa kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi pihak-pihak yang berselisih ataupun pihak lain yang terkait. Khususnya bagi peserta pemilu baik itu partai politik, calon legislatif dan calon presiden/wakil presiden.
Pentingnya penerapan sistem peradilan cepat dalam peradilan pemilu hal ini disebabkan pelaksanaan pemilu dibatasi oleh waktu tertentu dan hasilnya dibutuhkan oleh peserta pemilu terkait statusnya, khususnya dalam sengketa hasil pemilu.
Baik untuk keikutsertaan dalam pemilu maupun status untuk dapat duduk dalam lembaga negara baik DPR, DPD maupun DPRD dan kepala negara atau kepala daerah.
Maka, penting adanya peradilan satu atap pemilu terkait dengan pentingnya penegakan hukum pemilu di Indonesia. Hal ini karena selama ini peradilan pemilu di Bawaslu maupun DKPP melibatkan sarjana non hukum yang seharusnya sesuai semangatnya lembaga peradilan harus diisi oleh sarjana hukum.