Peradilan Satu Atap Pemilu

OLEH: M. IWAN SATRIAWAN

M. Iwan Satriawan - Foto: Istimewa

Maka pada era reformasi kelembagaan pemilu menjadi salah satu isu penting penerapan demokrasi yang esensial. Desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri ditentukan oleh kerangka hukum pemilu yang mengatur kedudukan, keanggotaan, tugas dan wewenang, tata cara seleksi, pengisian jabatan sekretariat dan penegakan pelanggaran kode etik, serta sumber pendanaan pemilu.

Kelembagaan Pemilu Pasca-Reformasi

Untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan hadirnya pemilu yang luber dan jurdil, maka di era reformasi dibentuklah lembaga pemilu yang independen secara bertahap.

Mulai dari dibentuknya KPU yang awalnya diisi oleh wakil-wakil partai dan pemerintah di tahun 1999, maka di tahun 2007 melalui mekanisme merit system, dipilihlah komisioner KPU dari kelompok masyarakat umum untuk menyelenggarakan pemilu tahun 2009 dan seterusnya.

Selain itu dibentuk juga Bawaslu yang awalnya di bawah KPU dengan nama Panwaslu menjadi independen yang kedudukannya sejajar dengan KPU pada tahun 2007 sebagai salah satu penyelenggara pemilu yang letaknya ada di pusat dan daerah.

Khusus untuk Bawaslu di awalnya hanya ad hoc untuk panwaslu kabupaten/kota. Namun melalui UU No.7 Tahun 2017 berubah menjadi permanen dan berubah nama menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang komisionernya berubah dari 3 menjadi 5 orang bahkan ada beberapa yang terdiri dari 7 orang.

Sedangkan pada tahun 2012 dibentuk juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang kedudukannya juga sejajar dengan KPU dan Bawaslu. Sedangkan untuk di daerah namanya Tim Pemeriksa Daerah (TPD).

Sehingga berdasarkan UU No.15 tahun 2011 maka penyelenggara pemilu di Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) lembaga yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP.

Lihat juga...