Pemindahan Ibu Kota Negara Berdampak pada Ketersediaan Air
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Kalau kita asumsikan kenaikan jumlah penduduk 2 persen, maka surplus ini hanya bisa meng-cover 7,17 juta orang atau untuk jangka waktu 45-50 tahun ke depan,” sebutnya.
Disampaikan Prof. Pitojo, dalam mengantisipasi dampak negatif yang timbul akibat rencana pemindahan ibu kota negara dapat dilakukan dengan menyiapkan kota yang ramah terhadap tata kelola sumber daya air.
Menjadikan ibu kota negara berkonsep forest city diyakini akan menekan perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi lahan terbangun sebagai sumber dampak negatif yang juga timbul.
“Forest city merupakan upaya untuk mempertahankan 50 persen luas hutan. Pemanfaatan lahan untuk area terbangun dengan mengadopsi elemen kota hijau di lokasi rencana ibu kota negara baru di Kalimantan Timur diprediksi mampu menjawab tantangan dalam menjaga kelangsungan dan ketersediaan kebutuhan air baku. Antara lain, green planning dan green design, green community, green open space, green building serta green water,” terangnya.
Drainase yang ramah lingkungan dan berkelanjutan esensinya adalah bagaimana masyarakat mampu menabung air. Kalau di setiap rumah dikembangkan sumur resapan, biopori maupun sumur injeksi, maka nanti akan bisa mengisi air-air tanah yang bisa dipanen ketika musim kemarau.
“Kalau tidak mau membuat infrastruktur besar-besaran seperti waduk atau bendungan, skala kecil pun bisa dibangun dengan membuat sumur resapan, biopori, sumur injeksi. Jadi tidak hanya di pemukiman maupun di badan jalan saja, tetapi juga di area komersial sekalipun harus ada tempat-tempat seperti itu,” tandasnya.
Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mochamad Basoeki Hadimoeljono, M.Sc., Ph.D., yang turut hadir dalam pengukuhan profesor tersebut, mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan survei ke lokasi calon bendungan baru.