Pemindahan Ibu Kota Negara Berdampak pada Ketersediaan Air

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Semula secara natural hujan turun meresap mengalir pelan ke laut, menguap dan kemudian turun lagi menjadi hujan. Namun dengan aktivitas manusia yang semakin besar maka siklus ini akan terganggu, ritmenya juga tidak akan semulus itu lagi.

“Pasti akan ada fase tertentu yang terganggu terutama di limpasan permukaannya yang semula hujan turun secara pelan meresap, mengikuti alur sungai menuju ke laut. Tetapi sekarang menjadi cepat waktunya, terkumpul dalam jumlah yang besar dan memiliki daya rusak yang disebut dengan banjir,” ungkapnya.

Selanjutnya adalah meningkatnya koefisien limpasan permukaan. Dimana ketika belum terbangun, kurang lebih hujan turun 70 persen meresap ke dalam tanah, sedangkam 30 persennya mengalir. Tapi ke depan jika sudah terbangun maka 70 persen air akan mengalir dan hanya 30 persen yang bisa meresap.

Kemudian, aktivitas manusia di sana akan menimbulkan timbunan sampah maupun limbah, dimana dalam jumlah besar bisa mencemari kondisi air tanah. Inilah yang harus bisa segera diantisipasi oleh pemerintah sebagai dampak negatif pemindahan ibu kota.

“Solusi yang kita tawarkan adalah dengan melibatkan manajemen dan rekayasa sumber daya air. Dimana dalam mengatasi defisit air tadi, kita harus mulai sekarang melakukan inventarisasi lokasi potensi baru yang layak secara teknis dan ekonomi. Rekayasa yang dilakukan tentu dengan membangun infrastruktur keairan mulai dari embung maupun bendungan,” terangnya.

Dari kajian-kajian yang ada di konsultan maupun kementerian PUPR, sudah ada lima lokasi yang potensinya sebesar 13,15 m3/detik. Artinya dengan tambahan 2,56 m3/detik maka akan menjadi 15,71 m3/detik, dan jika dikurangi kebutuhan untuk lima juta penduduk maka masih ada surplus 4,77 m3/detik.

Lihat juga...