Jesse Ewart Menangi Etape II TdS 2019

Editor: Koko Triarko

“Sekarang pariwisata Bukittinggi sudah baik. Seperti penyelenggaraan TdS 2019 ini, Bukittinggi sangat siap. Dampaknya pun terasa, hotel-hotel penuh, dan perekonomian rakyat menggeliat. Karena seperti yang saya katakan, TdS adalah harga diri Sumatra Barat,” katanya, Minggu (3/11/2019).

Di sisi lain, berdirinya Jam Gadang yang menjadi lokasi finish etape II memiliki sejarah tersendiri. Dahulu, pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu.

Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.

Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya.

Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada 2010, oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun ke-262 kota Bukittinggi pada 22 Desember 2010.

Lalu pada Juli 2018, kawasan Jam Gadang direvitalisasi oleh pemerintah. Pengerjaannya memakan biaya Rp18 miliar dan rampung pada Februari 2019

Lihat juga...