UU KPK, Revisi dan Pengesahan di Tengah Polemik Publik
FPKS juga memberikan catatan kritis terkait penyadapan, bahwa tidak tepat penyadapan harus meminta ijin Dewas karena lebih baik sifatnya hanya pemberitahuan saja.
“Seharusnya KPK cukup memberitahukan bukan meminta izin kepada Dewas, kemudian diiringi dengan monitoring dan audit yg ketat agar penyadapan tidak dilakuka secara semena-mena dan melanggar HAM,” katanya.
Dalam Rapat Paripurna tersebut, Ketua Fraksi PPP DPR RI Arsul Sani ikut mewarnai interupsi dengan pernyataannya bahwa Indonesia saat ini tidak cukup hanya merevisi UU KPK namun juga perlu revisi UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU Tipikor.
Hal itu menurut dia agar menjadi komitmen bersama agar pemberantasan korupsi menemuka paradigma seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi yaitu agar pengembalian aset negara bisa dimaksimalkan.
Karena itu menurut dia, sudah saatnya diperkenalkan terkait pembuatan UU tentang Perampasan Aset.
Fraksi Partai Demokrat DPR RI memberikan catatan khusus terkait revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu jangan sampai revisi tersebut melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Fraksi Partai Demokrat mendukung revisi UU KPK dengan catatan tidak ada unsur yang melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu,” kata anggota FPD Erma Suryani Ranik.
Dia menjelaskan, FPD berpandangan peran dan tugas penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus berjalan terukur, transparan, tidak tebang pilih, tidak pandang bulu, professional dan akuntabel.
Menurut dia, untuk mewujudkan karakter-karakter tersebut, dibutuhkan sinergi antar lembaga secara sinambung dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan rakyat.