Petani Lamsel Integrasikan Lahan Pertanian dan Peternakan

Editor: Koko Triarko

Integrasi pakan hijauan ternak pada lahan pertanian, kata Sujani, membuat ia tidak kesulitan pakan. Meski menjual dua ekor ternak sapi saat hari raya kurban atau Iduladha lalu, ia masih memelihara sapi untuk investasi. Kebutuhan biaya kuliah anak dari ternak sapi cukup menguntungkan. Sapi jenis limousin dijual dengan harga Rp18 juta hingga Rp20 juta per ekor.

Usman, petani di Penengahan memilih integrasi tanaman kelapa sawit dengan sapi. Melalui penyuluhan program sistem integrasi kelapa sawit dan sapi (Siskapi) Dinas Perkebunan, ia memanfaatkan limbah perkebunan kelapa sawit.

Didukung peralatan pencacah pelepah dan daun sawit, ia bisa memberikan asupan pakan alternatif tambahan dari limbah pertanian kelapa sawit. Kotoran sapi selanjutnya bisa digunakan untuk pupuk penyubur tanaman sawit.

Pemanfaatan limbah kelapa sawit bisa menyokong sekitar 40 persen kebutuhan pakan. Sumber pakan hijauan bisa diperoleh dari jerami, rumput gajahan. Selain itu, asupan pakan sapi diperoleh dengan memanfaatkan limbah penggilingan padi berupa bekatul. Tambahan pakan lain, ia memanfaatkan ampas tahu, jenjet jagung dan tetes tebu.

“Saat kemarau, semua jenis pakan harus dimaksimalkan karena sapi tidak digembalakan, tapi dikandangkan,” tutur Usman.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Handoko dan Felik. Petani warga Desa Pasuruan tersebut memanfaatkan lahan pertanian sekaligus sebagai tempat mendapatkan pakan ternak kambing. Sebagian lahan tanaman kacang tanah yang dikembangkan, digunakan sebagai lokasi menanam rumput kawatan dan gajahan.

Pola integrasi ternak dan pertanian membuat ia tidak memakai herbisida atau zat kimia untuk pembersihan gulma. Pembersihan secara manual dengan pencabutan rumput, menjadi cara baginya mendapat pakan. Saat panen kacang tanah, ia bisa memanfaatkan tanaman sebagai pakan ternak kambing.

Lihat juga...