Laut yang Berubah Harum

CERPEN TONI KAHAR

ORANG-orang berkerumun memenuhi jalan yang menyambung ke pelabuhan, seperti sungai yang tak sudah-sudah mengalir.

Orang-orang terus berjalan memasuki jalan menuju tempat dilaksanannya petik laut. Perempuan muda bersolek, ibu-ibu kentara sekali dengan lipstik merah yang tebal membawa anak di gendongannya.

Para pemuda memarkir sepeda sepanjang jalan masuk pelabuhan, sembari bersuit-suit ketika menemukan perempuan cantik seusianya lewat membawa harum surga yang disemprotkan di tubuh indah mereka.

Siapa yang tidak cantik dan tampan pada waktu itu. Hari perayaan laut, atau yang disebut dengan petik laut itu mengundang orang-orang ikut berdoa untuk kesejahteraan laut.

Selama tiga hari tiga malam akan ada hiburan yang diselenggarakan oleh desa, disamping ada hari pelepasan sesembahan ke tengah laut.

Hari ini adalah hari terakhir. Para warga akan menyaksikan pelepasan sesembahan itu. Kepala desa dan para pembesar desa menjadi tumpuan acara itu terselenggara.

Tak tanggung-tanggung mereka mengeluarkan tenaga dan uang untuk terselenggaranya acara petik laut. Tapi sebenarnya ada yang mereka abaikan.

Laut sejak tiga tahun yang lalu berbau tak sedap. Mereka menghirupnya tanpa bersuara. Tak jauh dari pelabuhan antarpulau itu terdapat tambak udang yang berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu.

Pelebaran sepanjang pesisir juga dilakukan baru-baru ini. Mereka diam saja, karena dibungkam dengan segepok uang dengan nilai yang fantastis.

Orang datang silih berganti. Termasuk seorang tua yang berkulit keriput dan berbadan sudah bungkuk itu berjalan sepanjang tepi jalan.

Di bahunya tersanggul karung. Matanya fokus ke bawah mencari botol plastik, sisa wadah minuman yang sengaja dibuang sembarangan di jalan. Sesekali dengan jepitan panjang terbuat dari bambu, dia mengambil botol bekas minuman.

Lihat juga...