Belajarlah Menolak Tahta Haram!

Oleh: Thowaf Zuharon

Thowaf Zuharon.

“Soeharto juga pernah bergantung pada Soekarno. Dia tidak ingin terkutuk karena mengkhianati penolongnya,” kata Jusuf dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru. Soeharto juga tidak ingin menjadi lawan politik Soekarno, tetapi dia tidak dapat menerima PKI dan tiga kali meminta agar PKI dibubarkan, tapi Soekarno menolaknya.

Namun, menurut Jusuf, Soeharto membangun argumennya dengan cerita pewayangan Mahabharata. Ketika Abiyasa, pendiri dinasti Pandawa dan Kurawa, sudah tua, ia menarik diri dari urusan dunia dan menjadi pertapa. Pemerintahan diserahkan kepada generasi berikutnya. Soeharto ingin Soekarno menjadi Abiyasa, sementara dialah yang menjalankan tugas sehari-hari kepresidenan. “Tujuannya bukan menjadi pejabat presiden, karena ini berarti dia menggantikan Soekarno, melainkan menjadi orang yang melaksanakan tugas presiden,” kata Jusuf.

Soeharto mengatakan, “Saya hanya ingin menjadi pengawal kepresidenan. Kalau saya menggunakan istilah pejabat presiden, rakyat akan mengutuk saya.”

Menolak istilah “pejabat presiden”, Soeharto mengusulkan “Pd Presiden” artinya “pemangku djabatan presiden.”

“Kami menolak karena istilah itu seharusnya pejabat presiden,” kata Jusuf. Perdebatan berjam-jam. “Baik, bapak,” Jusuf melanjutkan, “bapak tidak ingin pejabat; mahasiswa tidak menerima istilah pemangku djabatan. Kenapa kita tidak menafsirkan masing-masing saja. Bapak satu tafsir, kami tafsir lain.”

Soeharto yang semula enggan menjadi pejabat presiden, akhirnya mau. Soeharto setuju. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Beberapa jam kemudian, Soekarno diturunkan dari jabatan sebagai presiden. “Sementara Soeharto diangkat sebagai pejabat atau pemangku djabatan tergantung siapa yang menafsirkan: MPRS atau Soeharto,” kata Jusuf.

Lihat juga...