Belajarlah Menolak Tahta Haram!

Oleh: Thowaf Zuharon

Thowaf Zuharon.

Dalam perspektif etika maupun norma, alangkah memalukan jika kita melihat, ada dua pihak berebutan untuk meraih tahta kekuasaan. Padahal, belum tentu kekuasaan itu syah untuk didapatkan oleh keduanya. Dan alangkah memalukan jika kekuasaan didapatkan dari hasil kecurangan, seperti tahta kekuasaan atas kerajaan Hastina yang didapatkan oleh Duryudana melalui permainan curang Sangkuni dalam permainan dadu. Di sisi lain, alangkah lebih baik, kita perlu belajar kepada berbagai kisah arif dan bijaksana para pemimpin dan ksatria yang melakukan penolakan keras atas tahta kekuasaan yang tidak layak didapatkannya.

 

Berkaca pada Kisah Pak Harto

Dalam perjalanan kepemimpinan Bangsa Indonesia, kita bisa mengaca pada kisah Soeharto yang sempat menolak jabatan Presiden, karena ia merasa tidak layak mendapatkannya tahun 1967. Karena, saat itu, Presiden Soekarno masih menjabat sebagai Presiden.

Saat itu, setelah pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara ditolak, kepemimpinan Presiden Sukarno ditarik Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Keputusan dari MPRS, Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden. Namun, Soeharto tak mau disebut pejabat presiden.

Apa pasal? Dalam pertemuan di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Menteng, Jakarta Pusat, 11 Maret 1967 malam, Soeharto mengungkapkan alasannya. Pertemuan ini dihadiri para pendukungnya dari kalangan militer, organisasi politik, mahasiswa, dan pemuda.

Jusuf Wanandi, aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mengatakan, Soeharto tak mau disebut pejabat presiden karena dia secara emosional merasa dekat dengan Soekarno, bapak pendiri bangsa yang mengangkat banyak pemimpin sipil dan militer.

Lihat juga...