Panen Bersamaan, Sulitkan Petani Cari Buruh

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Musim panen padi pada masa tanam pertama (MT1) yang berbarengan, membuat pemilik lahan sawah kesulitan memperoleh buruh panen.

Suyatin, salah satu pemilik lahan sawah yang ditanami padi varietas Ciherang, mengaku memanen padi secara bertahap. Pasalnya, pada lahan seluas satu hektare miliknya dipanen dengan cara tradisional. Sebanyak belasan orang tenaga kerja atau buruh, melakukan pemanenan dengan sistem upahan.

Sistem upahan berdasarkan kesepakatan luasan lahan dilakukan, akibat pola penanaman yang berubah. Lima tahun sebelumnya, petani di wilayah tersebut masih melakukan penanaman padi sistem ceblok.

Suyatin memperlihatkan sebagian tanaman padi yang sudah dipanen -Foto: Henk Widi

Sistem ceblok dilakukan oleh warga yang tidak memiliki sawah, mulai dari proses pemanenan hingga panen. Saat proses panen, hasil gabah kering panen (GKP) akan dibagi antara pemilik sawah dan pemanen. Cara tersebut mulai ditinggalkan, akibat dalam beberapa musim pemanenan kerap terjadi gagal panen.

Imbas gagal panen pada sejumlah tanaman padi milik petani, sistem ceblok mulai ditinggalkan karena merugikan penanam. Semenjak sistem ceblok ditinggalkan, pola tanam hingga panen dilakukan dengan sistem upahan.

Sistem upahan harian, menurut Suyatin, menyesuaikan luasan lahan padi yang dipanen. Jumlah sekitar satu hektare kerap diborong dengan upah sekitar Rp3 juta, dikerjakan oleh belasan orang.

“Pada sistem ceblok, penanam padi memiliki kewajiban menanam hingga memanen. Namun kelemahannya, saat gagal panen hasil tidak maksimal merugikan bagi penanam, meski sudah mengorbankan waktu dan tenaga,” terang Suyatin, Jumat (3/5/2019).

Lihat juga...