Paradigma Pembuatan Banten Harus Dirubah
Editor: Mahadeva
GIANYAR – Masyarakat Bali semestinya harus merubah paradigma dalam pembuatan Banten. Hal itu dibutuhkan, agar makna dan filosofis dari upacara yang dipersembahkan tidak berkurang.
“Ulah aluh, ulah enggal, ulah pragat, (asal gampang, cepat dan asal jadi), paradigma ini sering kita dengar dalam kaitannya dengan pembuatan Banten. Inilah yang mesti kita ubah dari sekarang,” ucap Ketua PHDI Kabupaten Gianyar, Ida Ayu Diana Dewi Agung, dalam pelatihan Banten bagi pengurus PHDI Kabupaten dan Kecamatan se-Kabupaten Gianyar, di Taman Prakerti Bhuana Beng Gianyar, Senin (1/4//2019).
Perempuan Bali sering dikatakan seolah-olah mempunyai porsi tersendiri dalam tatanan kehidupan di Bali. Mereka mempunyai peranan penting dalam kelangsungan adat, budaya dan agama. Namun, karena pengaruh globalisasi dan teknologi yang demikian pesat, banyak diantara mereka yang memilih mencari praktis, dengan membeli Banten. Fenomena ini tidak saja terjadi di perkotaan, namun juga terjadi di pedesaan.
Diana menilai, kondisi tersebut seperti dua sisi mata uang. Di salah satu pihak, menguntungkan pelaku UKM yang bergerak di bidang alat-alat upakara. Disisi lain, ada pandangan negatif bahwa kini perempuan Bali tidak ada yang bisa membuat Banten. Bahkan ada anggapan, perempuan Bali tidak memahami makna Banten yang dihaturkan.
“Oleh karenanya, kami dari pihak Pemerintah Kabupaten Gianyar, mengadakan pelatihan Banten Upakara khususnya banten upacara bayi baru lahir sampai otonan, dengan tingkatan upacara terkecil, tetapi maknanya sama dengan tingkatan upacara besar atau utama. Lewat pelatihan ini saya harap, kita dapat memanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan dan pemahaman kita akan Banten dalam upacara sehari-hari,” imbuhnya.