Nasib Buruh Wanita Pencetak Genteng asal Godean Sleman

Editor: Satmoko Budi Santoso

YOGYAKARTA – Di sebuah ruangan mirip kandang yang masih berlantai tanah, Suparmi (50) nampak sibuk melakukan pekerjaannya. Ditemani mesin pres tua yang terbuat dari baja, ia tak henti mencetak lempengan-lempengan genteng yang sudah begitu tersohor membawa nama daerah asalnya.

Mula-mula ia akan mengolesi meja beton yang merupakan alas cetakan pertama dengan pelumas berupa campuran minyak solar dan jlantah. Ia kemudian mengambil gumpalan campuran tanah liat berwarna coklat yang telah ditata mirip batu bata, dan menaruh di atasnya.

Dengan kedua tangannya, Suparmi lantas membolak-balik gumpalan tanah liat itu menjadi lebih pipih. Sesekali, ia nampak menekan-nekan gumpalan liat itu dengan telapak tangannya agar lebih solid dan padat. Begitu ukuran gumpalan dirasa telah sesuai, ia lantas menaruhnya ke mesin pres baja.

Tangannya yang terlihat kokoh dan bertenaga, nampak begitu gemulai mengoperasikan mesin pres genteng yang berukuran lebih besar dari tubuhnya itu. Tak lama, sebuah genteng pres yang masih basah pun tercetak.

Ia kemudian merapikannya dan menaruhnya di rak-rak pengeringan yang terbuat dari bambu yang terdapat di belakangnya.

Begitulah pekerjaan Suparmi setiap harinya. Berulang-ulang sepanjang hari sejak pagi hingga sore hari.

“Kadang saya mencetak genteng bersama suami. Tapi kalau suami sedang ada pekerjaan lain, saya mencetak sendiri,” ujar wanita asal dusun Berjo Wetan, Sidoluhur, Godean, Sleman itu, Jumat.

Menjadi buruh pencetak genteng sejak masih muda, Suparmi merupakan satu dari sekian banyak warga Godean yang melakoni pekerjaan semacam itu. Dalam sehari ia mengaku mampu mencetak 150-180 buah genteng.

Lihat juga...