Yudi Latif: Pak Harto Merealisasikan Pancasila

Editor: Satmoko Budi Santoso

JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Yudi Latif, mengatakan, Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar adalah jembatan yang terhubung antara dua masa pemerintahan yang berbeda.

Ketika Orde Baru itu muncul, menurutnya, juga membawa hal-hal yang masih tersisa di Orde Lama. Dan seringkali, orang kalau melihat Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno selalu dihadapkan secara kontradiktif.

“Padahal saya melihat, antara Bung Karno dan Pak Harto ada kesamaan komitmen. Yaitu, ketika keduanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Soekarno menyusun Pancasila dan Pak Harto merealisasikannya,” kata Yudi dalam seminar nasional  53 Tahun Supersemar 1966 “Kepemimpinan Nasional dalam Perspektif Pancasila” di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/3/2019).

Menurutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada zaman Soekarno belum mampu direalisasikan, saat itu hanya terdapat MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).

Tahun 1955 ketika pemilu pertama dilaksanakan, konstitusi juga belum mengamanatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. “Nah, baru pada zaman Pak Harto MPR dapat terwujud, yaitu setelah tahun 1971,” tandasnya.

Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, namun jelas dia lagi, Pak Harto mampu merealisasikan MPR pada masanya. Ketidaksempurnaan itu menurutnya, bukanlah alasan untuk meniadakan peran dan fungsi MPR. Karena dalam prinsip moral publik, ada teori menawarkan gagasan dan juga mempertahankan rumah sendiri.

“Kita ingat dulu Bung Hatta mengatakan, jangan sampai negara hukum menjadi negara kekuasaan akibat cara kita membakar rumah sendiri. Kita tidak bisa mengubah kalau cara mengubahnya itu juga anarki,” tukas Yudi.

Lihat juga...